(Bejo saat masih TK)

“Bejo!! Kenapa kamu gak beresin mainanmu!!?” kata Papi.

Bejo menjawab: “Ntar kan bakal dimainin lagi Pi, aku mau e’ek dulu.”

“Beresin dulu e’ek-nya!! Eh, beresin dulu mainannya!! E’ek-nya ditahan dulu!!” Papi menjawab.

“Tapi…tapi…Pi…Papi… aku dah ga tahan nih…” sahut Bejo sambil memegangi pantatnya, bukan pantat Papi lho…

“Oooo!! Berani ngelawak, eh…ngelawan kamu!!?”

“Aaakkk!!” teriak Bejo

Brebet…bret…breett… (Bejo dah ga’ bisa nahan lagi)

(Selanjutnya…terserah papi…)

Pernahkah suatu ketika, Anda melihat seorang anak kecil diperlakukan tidak baik oleh orangtuanya sendiri? Anak sering dibentak-bentak, kalau ada salah sedikit saja, misalnya lupa membereskan mainannya, langsung diomelin, dengan intonasi yang keras dan terasa mengintimidasi. Lalu, kalau kesabaran si mami atau papi sudah habis, mulai main tangan, main tangan di sini bukan berarti mainin tangan dipegang-pegang, dipencet-pencet, atau dicoret-coret… tetapi memakai tangan sebagai salah satu persenjataan mutakhir orangtua untuk “mendidik” anaknya. bisa untuk memukul, mencubit, menjewer, bahkan meninju anaknya, serasa sedang bermain smackdown. Bahkan, lama-lama mami papi itu lama-lama bisa keasyikan bermain “didik-mendidik” memakai kakinya juga, tidak perlu disebutkan untuk apa kan? Pastinya bukan untuk main loncat tali.

Penggalan dialog papi dan Bejo di atas adalah salah satu contoh dari rekonstruksi peristiwa di dunia maya, yang menjadi intinya adalah perilaku kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Di jaman sekarang, saat londo-londo sudah tidak menjajah kita lagi, masih ada saja para mami-papi yang mendidik anaknya dengan cara penjajah. Menjajah mentalitas dan perkembangan psikologis sang anak. Si Bejo bukannya menurut dan mengerti justru menjadi tertekan dan takut terhadap orangtuanya sendiri, ia jadi serba salah. Mau gini takut salah, mau gitu takut salah, akhirnya berujung pada terhambatnya kreativitas anak. Hal lain yang dapat terjadi adalah anak justru menjadi kebal omelan dan pukulan, bukan karena ia punya ilmu kebal ajian sakti mandraguna, tetapi karena ia terbiasa dengan kondisi tersebut dan jadi tidak takut dimarahi lagi. Dampaknya, anak makin ngelunjak, orangtua makin galak, bisa-bisa adu timpuk bakiak.

Anak adalah cerminan orangtua, mungkin sebagian seperti itu. Perilaku tersebut dapat menumbuhkan perilaku yang sama pada anak, dan dia dapat menerapkannya pada teman atau adiknya. Bahaya kalau sampai jadi sistem multi level bullying (MLB) kan? Perilaku itu telah tertanam dalam alam bawah sadar anak dan menjadi trauma yang dalam dan sulit dihilangkan. Anak mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya dan dapat menuju ke dua arah perkembangan, ia menjadi introvert dan penakut, atau sebaliknya, ia menjadikan dirinya pentolan anak nakal dan menganiaya teman-temannya.

(bejo saat kelas V SD)

“Heh!! Sini mainanmu!! Buat aku!” bentak Bejo.

“Ga bisa, ini kan punyaku.” kata temannya.

“Eeeh!! Berani ngelawak, eh… ngelawan kamu!!?” ancam Bejo.

“Aaakk!!” teriak temannya.

(selanjutnya…terserah Bejo…)

atau seperti ini…

“Heh!! Sini mainanmu!! Buat aku!” ini temannya Bejo.

““Ga bisa, ini kan punyaku…” ini baru Bejo.

“Eeeh!! Berani ngelawan kamu!!?” ancam temannya.

“Uuugh..” ini suara Bejo.

Brebet…bret…breett…

 

Anak ibarat mesin fotokopi yang berjalan, dia memiliki rasa ingin tahu yang sangaaaat besar dan menyerap banyak hal baru dari lingkungannya. Tentunya, perilaku negatif semacam itu perlu dijauhkan dari anak-anak. Terkadang yang menjadi penyebab kekerasan terhadap anak adalah karena orangtua kehabisan kesabaran terhadap perilaku anak. Lama-lama hal itu justru menjadi kebiasaan, sedikit saja si Bejo salah langsung dibentak. Terkadang orangtua menuntut banyak dari anak tetapi sulit memberi teladan yang baik. Berikan contoh yang baik di depan anak, memberi contoh sikap sabar dan sayang pada anak menurut saya adalah cara yang baik dan tentunya dengan cara yang menyenangkan. Ada ungkapan “diamond cut diamond”, anak bagai berlian yang belum diasah, untuk membentuknya perlu hati berlian pula yang tekun dan ulet, semoga yang dihasilkan pun berlian yang indah dan berharga bagi semua orang disekitarnya, amiiin.

“Bejo, kok mainannya masih berantakan?” kata Papi.

Bejo menjawab: “Ntar kan bakal dimainin lagi Pi, aku mau e’ek dulu.”

“Oo, mau buang air besar? Tapi setelah ini mainannya diberesin ya.” Papi menjawab.

“Tapi…tapi…Pi…Papi… kan abis ini masih mau main…” sahut Bejo sambil memegangi pantatnya.

“Iyaa…beresinnya setelah main saja.”

“Iya Pi, ntar kuberesin kalo udahan mainnya.” sahut Bejo

Brebet…bret…breett… (Bejo dah ga’ bisa nahan lagi)

(Selanjutnya…masih terserah papi…mampukah Papi menahan emosinya??)